Jawa adalah salah satu dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia.
Sebenarnya pulau ini tidak hanya merupakan “daerah asal” orang Jawa
semata karena di sana ada orang Sunda yang berdiam di bagian barat Pulau
Jawa (Jawa Barat). Mereka (orang Sunda) mengenal atau memiliki senjata
khas yang disebut sebagai kujang. Konon, bentuk dan nama senjata ini
diambil dari rasa kagum orang Sunda terhadap binatang kud hang atau
kidang atau kijang yang gesit, lincah, bertanduk panjang dan bercabang,
sehingga membuat binatang lain takut.
Apabila dilihat dari bentuk dan ragamnya, kujang dapat dibedakan menjadi
beberapa macam, yaitu: (1) kujang ciung (kujang yang bentuknya
menyerupai burung ciung); (2) kujang jago (kujang yang bentuknya
menyerupai ayam jago); (3) kujang kuntul (kujang yang bentuknya
menyerupai burung kuntul); (4) kujang bangkong (kujang yang bentuknya
menyerupai bangkong (kodok)); (5) kujang naga (kujang yang bentuknya
menyerupai ular naga); (6) kujang badak (kujang yang bentuknya
menyerupai badak); dan (6) kudi (pakarang dengan bentuk yang menyerupai
kujang namun agak “kurus”). Sedangkan, apabila dilihat dari fungsinya
kujang dapat pula dibagi menjadi beberapa macam, yaitu: (1) kujang
sebagai pusaka (lambang keagungan seorang raja atau pejabat kerajaan);
(2) kujang sebagai pakarang (kujang yang berfungsi sebagai senjata untuk
berperang); (3) kujang sebagai pangarak (alat upacara); dan (4) kujang
pamangkas (kujang yang berfungsi sebagai alat dalam pertanian untuk
memangkas, nyacar, dan menebang tanaman).
Struktur Kujang
Sebilah kujang yang tergolong lengkap umumnya terdiri dari beberapa
bagian, yaitu: (1) papatuk atau congo, yaitu bagian ujung yang runcing
yang digunakan untuk menoreh atau mencungkil; (2) eluk atau siih, yaitu
lekukan-lekukan pada badan kujang yang gunanya untuk mencabik-cabik
tubuh lawan; (3) waruga yaitu badan atau wilahan kujang; (4) mata[1],
yaitu lubang-lubang kecil yang terdapat pada waruga yang jumlahnya
bervariasi, antara 5 hingga 9 lubang. Sebagai catatan, ada juga kujang
yang tidak mempunyai mata yang biasa disebut sebagai kujang buta; (5)
tonggong, yaitu sisi tajam yang terdapat pada bagian punggung kujang;
(6) tadah, yaitu lengkung kecil pada bagian bawah perut kujang; (7)
paksi, yaitu bagian ekor kujang yang berbentuk lancip; (8) selut, yaitu
ring yang dipasang pada ujung gagang kujang; (9) combong, yaitu lubang
yang terdapat pada gagang kujang; (10) ganja atau landaian yaitu sudut
runcing yang mengarah ke arah ujung kujang; (11) kowak atau sarung
kujang yang terbuat dari kayu samida yang memiliki aroma khas dan dapat
menambah daya magis sebuah kujang; dan (12) pamor berbentuk garis-garis
(sulangkar) atau bintik-bintik (tutul) yang tergambar di atas waruga
kujang. Sulangkar atau tutul pada waruga kunjang, disamping sebagai
penambah nilai artistik juga berfungsi untuk menyimpan racun[2].
Sebagai catatan, terdapat beberapa pengertian mengenai kata pamor.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1990), pamor adalah: baja putih
yang ditempatkan pada bilah keris dan sebagainya; lukisan pada bilah
keris dan sebagainya dibuat dari baja putih. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia (1989:720) disebutkan bahwa pamor adalah baja putih yang
ditempakan pada bilah keris dan sebagainya atau lukisan pada bilah keris
dan sebagainya dibuat dari baja putih. Dalam Kamus Basa Sunda karangan
Satjadibrata (1954:278) disebutkan bahwa pamor adalah “ngaran-ngaran
gurat-gurat nu jiga gambar (dina keris atawa tumbak) jeung dihartikeun
oge cahaya” yang artinya “pamor adalah nama garis yang menyerupai gambar
(baik yang terdapat dalam keris ataupun mata tumbak) juga pamor dapat
diartikan cahaya). Dalam bahasa Kawi, berarti campuran atau percampuran.
Dan, dalam Enskilopedia Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya (2000:400)
disebutkan bahwa pamor adalah permukaan bilah keris yang dipercaya
mengandung khasiat baik atau khasiat buruk. Pamor yang berkhasiat baik
adalah pamor yang dapat memberi keselamatan kepada pemilik atau
pemakainya. Sedangkan pamor yang berhasiat buruk adalah pamor yang
membawa sial atau ingin membunuh musuh atau bahkan pemiliknya sendiri.
Selain itu, Ensiklopedia Sunda, Alam, Manusia, dan Budaya (2000:400)
juga menyebutkan bahwa pamor berarti benda-benda yang berasal dari luar
angkasa yang digunakan sebagai bahan pembuat kujang. Benda-benda luar
angkasa dapat dibedakan menjadi: (1) meteorit, yaitu benda yang
mengandung besi dan nikel yang bila dijadikan kujang akan berwarna putih
keabu-abuan (pamor bodas). Pamor ini berkhasiat memberikan keselamatan;
(2) siderit, yaitu benda yang hanya mengandung baja sehingga bila
dijadikan kujang akan berwarna hitam (pamor hideung). Pamor ini biasanya
berkhasiat buruk dan membahayakan; dan (3) aerolit, yaitu benda yang
apabila telah dijadikan kujang akan berwarna kuning (pamor kancana).
Pamor yang terdapat pada senjata kujang diperkirakan berjumlah sekitar
87 jenis, yaitu: kembang pala, saleunjeur nyere, kenong sarenteng,
malati sarenteng, padaringan leber, hujan mas, kemban lo, batu demprak,
ngulit samangka, kembang lempes, malati nyebar, simeut tungkul, sinom
robyong, beas mawur, baralak ngantay, sagara hieum, nuju gunung, rambut
keli, mayang ligar, kembang kopi, tunggul wulung, kembang angkrek,
tundung, sungsum buron, simbar simbar, sangga braja, poleng, ombak
sagara, pulo tirta, manggada, talaga ngeyembeng, keureut pandan, tambal
wengkon, huntu cai, bawang sakeureut, cucuk wader, gunung guntur, gajih,
sanak, ngarambut, raja di raja, janus sinebit, kota mesir, lintang
kemukus, kembang tiwu, sisit sarebu, tunggak semi, oray ngaleor, pari
sawuli, sumur sinaba, selo karang, lintang purba, sumber, prabawa,
pangasih, raja kam kam, riajah, bala pandita, pancuran mas, sumur
bandung, adeg tilu, tangkil, kendagan, buntel mayit, kembang pakis, dua
warna, karabelang, manggar, pandhitamangun suka, borojol, bugis, gedur,
tunggak semi, tambol, tumpuk, sekar susun, huntu simeut, raja temenang,
pulo duyung, bulan lima, pupus aren, wulan wulan, ruab urab, singkir ros
tiwu, dan rante.
Pada zaman Kerajaan Pajajaran masih berdiri, orang yang ahli dalam
membuat kujang disebut Guru Teupa. Dalam proses pembuatan sebilah kujang
seorang Guru Teupa harus mengikuti aturan-aturan tertentu agar kujang
dapat terbentuk dengan sempurna. Aturan-aturan tersebut diantaranya
adalah mengenai waktu untuk memulai membuat kujang yang dikaitkan dengan
pemunculan bintang di langit atau bintang kerti. Selain itu, selama
proses pengerjaan kujang Guru Teupa harus dalam keadaan suci dengan cara
melakukan olah tapa (puasa) agar terlepas dari hal-hal yang buruk yang
dapat membuat kujang yang dihasilkan menjadi tidak sempurna. Dan,
seorang Guru Teupa harus memiliki kesaktian yang tinggi agar dapat
menambah daya magis dari kujang yang dibuatnya. Sebagai catatan, agar
sebuah kujang memiliki daya magis yang kuat, biasanya Guru Teupa
mengisinya dengan kekuatan gaib yang dapat bersifat buruk atau baik.
Kekuatan gaib yang bersifat buruk atau jahat biasanya berasal dari
roh-roh binatang, seperti harimau, ular, siluman dan lain sebagainya.
Sedangkan kekuatan gaib yang bersifat baik biasanya berasal dari roh
para leluhur atau guriyang.
Kelompok Pemilik Kujang
Konon, pada zaman Kerajaan Pajajaran masih berdiri, senjata kujang hanya
boleh dimiliki oleh orang-orang atau kelompok-kelompok tertentu
berdasarkan status sosialnya[3] dalam masyarakat, seperti: raja, prabu
anom (putera mahkota), golongan pangiwa, golongan panengen, golongan
agama, para puteri serta kaum wanita tertentu, dan para kokolot.
Sedangkan bagi rakyat kebanyakan, hanya boleh mempergunakan senjata
tradisional atau pakakas, seperti golok, congkrang, sunduk, dan kujang
yang fungsinya hanya digunakan untuk bertani dan berladang.
Setiap orang atau golongan tersebut memiliki kujang yang jenis, bentuk
dan bahannya tidak boleh sama. Misalnya, kujang ciung yang bermata
sembilan buah hanya dimiliki oleh Raja, kujang ciung bermata tujuh buah
hanya dimiliki oleh Mantri Dangka dan Prabu Anom, dan kujang ciung yang
bermata lima buah hanya boleh dimiliki oleh Girang Seurat, Bupati
Pamingkis dan Bupati Pakuan. Selain oleh ketiga golongan tersebut,
kujang ciung juga dimiliki oleh para tokoh agama. Misalnya, kujang ciung
bermata tujuh buah hanya dimiliki oleh para pandita atau ahli agama,
kujang ciung bermata lima buah dimiliki oleh para Geurang Puun, kujang
ciung bermata tiga buah dimiliki oleh para Guru Tangtu Agama, dan kujang
ciung bermata satu buah dimiliki oleh Pangwereg Agama. Sebagai catatan,
para Pandita ini sebenarnya memiliki jenis kujang khusus yang
bertangkai panjang dan disebut kujang pangarak. Kujang pangarak umumnya
digunakan dalam upacara-upacara keagamaan, seperti upacara bakti arakan
dan upacara kuwera bakti sebagai pusaka pengayom kesentosaan seluruh
negeri.
Begitu pula dengan jenis-jenis kujang yang lainnya, seperti misalnya
kujang jago, hanya boleh dimiliki oleh orang yang mempunyai status
setingkat Bupati, Lugulu, dan Sambilan. Jenis kujang kuntul hanya
dipergunakan oleh para Patih (Patih Puri, Patih Taman, Patih Tangtu,
Patih Jaba, dan Patih Palaju) dan Mantri (Mantri Majeuti, Mantri
Paseban, Mantri Layar, Mantri Karang, dan Mantri Jero). Jenis kujang
bangkong dipergunakan atau dibawa oleh Guru Sekar, Guru Tangtu, Guru
Alas, dan Guru Cucuk. Jenis kujang naga dipergunakan oleh para Kanduru,
Para Jaro (Jaro Awara, Jaro Tangtu, dan Jaro Gambangan). Dan, kujang
badak dipergunakan oleh para Pangwereg, Pamatang, Panglongok, Palayang,
Pangwelah, Baresan, Parajurit, Paratutup, Sarawarsa, dan Kokolot.
Sedangkan, kepemilikan kujang bagi kelompok wanita menak (bangsawan) dan
golongan wanita yang mempunyai tugas dan fungsi tertentu, misalnya
Putri Raja, Putri Kabupatian, Ambu Sukla, Guru Sukla, Ambu Geurang, Guru
Aes, dan para Sukla Mayang (Dayang Kabupatian), kujang yang
dipergunakan adalah kujang ciung dan kujang kuntul. Sementara untuk kaum
perempuan yang bukan termasuk golongan bangsawan, biasanya mereka
mempergunakan senjata yang disebut kudi. Senjata kudi ini berbahan besi
baja, bentuk kedua sisinya sama, bergerigi dan ukurannya sama dengan
kujang bikang (kujang yang dipergunakan wanita) yang langsing dengan
ukuran panjang kira-kira satu jengkal (termasuk tangkainya).
Cara Membawa Kujang
Sebagai sebuah senjata yang dianggap sakral dan memiliki
kekuatan-kekuatan magis tertentu, maka kujang tidak boleh dibawa secara
sembarangan. Ada cara-cara tertentu bagi seseorang apabila ia ingin
pergi dengan membawa senjata kujang, diantaranya adalah: (a) disoren,
yaitu digantungkan pada pinggang sebelah kiri dengan menggunakan sabuk
atau tali pengikat yang dililitkan di pinggang. Kujang-kujang yang
dibawa dengan cara disoren ini biasanya adalah kujang yang bentuknya
lebar (kujang galabag), seperti: kujang naga atau kujang badak; (b)
ditogel, yaitu dibawa dengan cara diselipkan pada sabuk bagian depan
perut tanpa menggunakan tali pengikat. Kujang-kujang yang dibawa dengan
cara demikian biasanya adalah kujang yang bentuknya ramping (kujang
bangking), seperti kujang ciung, kujang kuntul, kujang bangkong, dan
kujang jago; (c) dipundak, yaitu dibawa dengan cara dipikul tangkaian di
atas pundak, seperti memikul tumbak. Kujang yang dibawa dengan cara
demikian adalah kujang pangarak, karena memiliki tangkai yang cukup
panjang; dan (d) dijinjing, yaitu membawa kujang dengan cara ditenteng
atau dipegang tangkainya. Kujang yang dibawa dengan cara seperti ini
biasanya adalah kujang pamangkas atau kujang yang tidak memiliki kowak
atau warangka.
Nilai Budaya
Pembuatan kujang, jika dicermati secara seksama, di dalamnya mengandung
nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam
kehidupan sehari-hari bagi masyarakat pendukungnya. Nilai-nilai itu
antara lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.
Nilai keindahan tercermin dari bentuk-bentuk kujang yang dibuat
sedemikian rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai
ketekunan, ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya
yang memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar